Menyelamatkan Kuku Macan Samarinda

Kamis, 26 Februari 2009 ·

SIAPA yang berani merasakan kuku macan? Pasti tak akan ada orang yang mau merasakan bagaimana kuku hewan yang terkenal buas ini. Namun, kalau kuku macan Samarinda, dijamin tidak ada orang yang menolak untuk mencobanya.



SAMARINDA tidak hanya terkenal dengan sarungnya. Kuku macan, seperti juga sarung samarinda, menjadi semacam "pengabsah" kunjungan seseorang ke kota tepian Mahakam ini.

Makanan khas dari Samarinda ini mungkin menjadi oleh-oleh yang paling banyak dicari oleh pengunjung ibu kota provinsi kaya tambang, Kalimantan Timur (Kaltim), ini. Kuku macan begitu mudah didapat karena cukup banyak tersedia di kios-kios, di sejumlah sudut kota.


Biasanya, rumah yang terletak di belakang kios itu juga sekaligus menjadi pabrik pembuatan makanan ini. Jangan heran, tiap-tiap kios menawarkan rasa yang berbeda.

Ada yang rasa bawangnya sangat kuat, ada yang aroma mericanya cukup keras hingga terasa pedas. Semua tergantung para pembuatnya yang mendapat resep kuku macan itu secara turun-temurun.

Kuku macan sebenarnya hanyalah salah satu jenis dari makanan khas yang biasa disebut amplang oleh warga Kaltim. Mengapa disebut kuku macan?

"Karena bentuk fisiknya memang seperti potongan kuku macan, jadi sah-sah saja kalau disebut kuku kucing atau kuku hewan-hewan yang sejenis," kata Anung, salah seorang perajin amplang di Jalan Slamet Riyadi, Samarinda, sambil tertawa. Kuku macan menjadi primadona berbagai jenis amplang yang dihasilkan para perajin.

Besarnya seujung jari kelingking yang meruncing. Selain bentuk kuku macan, para perajin juga membuat amplang dalam bentuk lain, yakni panjang, tanggung, meriap, dan bundar.

Para pembuat tidak menjelaskan amplang rasa apa yang ada dalam kemasan yang dibuatnya. Aminah, pengusaha pembuatan kuku macan Karya Kita, mengatakan, tiap-tiap pengusaha meracik bumbu yang berbeda. "Setiap perajin mempunyai resep rahasia masing-masing, tidak ada yang rasanya sama," kata Aminah.

Anung sedikit membuka rahasia mengenai amplang dan kualitasnya dengan melihat dari warnanya. "Kalau amplang yang warnanya cukup putih, itu tandanya bawang putihnya kurang. Kalau yang agak kemerah-merahan, bawang putihnya cukup," ujar Anung.

ENTAH siapa yang memulai, kerajinan makanan khas ini sudah berlangsung puluhan tahun secara turun-temurun. Dalam buku Kalimantan Timur, Apa, Siapa, dan Bagaimana disebutkan, makanan khas ini sudah dikenal bahkan sejak sebelum Perang Dunia II.

Aslinya, makanan ini bahan utamanya adalah ikan pipih atau ikan belida (Notopetrus chitala). Pembuatan amplang dengan berbagai bentuknya ini dari zaman dulu sampai sekarang masih menggunakan cara-cara tradisional.

Proses pengolahan amplang relatif sederhana. Ikan segar setelah dibersihkan lalu diambil dagingnya, kemudian digiling. Setelah daging ikan digiling kemudian dicampur bumbu dan tepung, lalu diaduk hingga rata. Adonan itu kemudian dibentuk dengan tangan sesuai dengan keinginan, atau dicetak jika akan dibuat kuku macan.

"Semua pekerja yang mengaduk dan membentuk amplang ini semuanya perempuan, sementara laki-laki hanya kebagian membersihkan ikan," kata Anung, yang mempekerjakan sekitar 10 karyawan. Oleh sebab itu, untuk membuat campuran atau ulenan itu hingga siap digoreng dibutuhkan ketelatenan yang menurut Anung hanya dimiliki oleh pekerja perempuan. Seusai dibentuk, tinggal dimasukkan ke penggorengan dan setelah dingin dikemas.

Tenaga kerja yang dipekerjakan Anung maupun Aminah dibayar berdasarkan tugas masing-masing dan jenis amplang yang dihasilkan. Semakin rumit dan lama pengerjaannya, bayaran para pegawai itu semakin mahal.

Menurut Aminah, tenaga kerja yang dibutuhkan tersebut masing-masing tukang giling, tukang goreng, tukang cetak, dan pengemas. Misalnya, untuk tukang cetak dibayar Rp 600 per kilogram, sedangkan tukang goreng Rp 500 per kilogram.

Untuk menghemat waktu dan tenaga, diberi sedikit sentuhan modernisasi pada pembuatan kuku macan, yakni dengan menggunakan mesin cetak. Modernisasi juga terjadi pada cara pengemasan karena untuk menarik pembeli, para perajin sudah menggunakan kemasan plastik yang menarik dengan memberi merek pada produk amplang mereka.

NAMUN, seiring dengan semakin rusaknya ekosistem Sungai Mahakam, kekhasan amplang sedikit berkurang. Makin sulitnya mencari ikan belida memaksa para perajin beralih bahan pembuatan amplang.

Belida adalah sejenis ikan sungai yang gurih dagingnya dan banyak durinya. Bentuk badannya pipih lebar dengan punuk di bagian tengkuknya. Ikan pipih biasanya berasal dari para nelayan yang menangkapnya dengan menggunakan jaring rengge. Penangkapan dari alam kini sangat sulit, sementara hingga sekarang belum ada teknologi untuk membudidayakan ikan ini.

"Hingga sekarang ikan ini belum bisa dibudidayakan di Kaltim," kata Khaerani Saleh, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim. Menurut Khaerani, yang bisa dilakukan untuk sementara baru upaya pembesaran ikan belida. Namun, untuk memijahkannya, hingga kini belum bisa dilakukan.

Menurut para perajin, untuk mendapatkan ikan ini harus berebutan dan harganya sangat mahal. "Sekarang harganya bisa mencapai Rp 50.000 per kilogram. Selain dari nelayan di Sungai Mahakam, juga ada yang dari Kalimantan Selatan," papar Aminah.

Sekarang ini, sangat sulit untuk mendapatkan amplang yang terbuat dari ikan belida. Menurut keterangan sejumlah perajin, dalam sehari mereka sebenarnya memerlukan 150 kilogram ikan. "Menjelang Lebaran, kebutuhan bahan baku bisa lebih besar lagi karena banyak permintaan," ujar Aminah.

Anung misalnya, jika di hari- hari biasa omzetnya rata-rata hanya Rp 1 juta per hari, menjelang Lebaran bisa meningkat menjadi sekitar Rp 6 juta per hari. Bahan baku yang dibutuhkan semakin banyak.

Karena tidak ada ikan belida, bahan baku para perajin kuku macan dan berbagai jenis amplang lainnya kini beralih ke ikan tenggiri. Sejumlah perajin juga membuat amplang dari bahan ikan biji nangka.

Hanya saja, substitusi bahan baku utama ini sedikit mengorbankan cita rasa khas amplang.

Bagi orang awam, sangat sulit membedakan amplang dengan bahan baku belida atau ikan tenggiri. "Kalau memakai ikan belida, rasanya lebih manis," ungkap Anung.

Sekarang ini kerajinan amplang sudah menjadi andalan sejumlah keluarga di Samarinda, termasuk ratusan pekerjanya. Dari puluhan perajin amplang yang ada di Samarinda, rata-rata mereka mempekerjakan 10 hingga 20 orang. Pekerja akan bertambah menjelang Lebaran.

Sangat disayangkan jika gara-gara bahan baku, usaha yang sudah menghidupi ratusan warga ini menjadi terancam.

Perlu segera dicari cara untuk membudidayakan ikan belida agar cita rasa dan kekhasan kuku macan Samarinda kembali terjaga. (PRASETYO EKO P)


Search :












Berita Lainnya :

·
Menyelamatkan Kuku Macan Samarinda

·
Usaha Warga Kini Terancam

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar

Kirim komentar anda

Profil Saya

Foto saya
Blog ini baru dibuat Bulan April, jadi masih belum sempurna. Tapi saya berusaha semaksimal mungkin supaya blog ini bermanfaat bagi semua orang dan berjalan sesuai dengan aturan - aturan yang ada.dan para blogger salam kenal dari saya